Bab I
Pendahuluan
Dalam sejarah perjalanannya, pemikiran filsafat di dunia Islam mengalami pertentangan dan perdebatan yang barangkali tidak dijumpai dalam sejarah tradisi pemikiran filsafat di manapun . Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan bahwa di satu sisi keberadaan filsafat amat diagung-agungkan dan dianggap sebagai pelengkap kebenaran yang dibawa oleh agama, sementara di sisi lain, terutama kelompok yang diwakili oleh jumhur fiqhiyyah- mereka secara umum antipati dengan perbincangan dan obyek pemikiran filsafat yang dalam pandangan mereka bisa menjerumuskan seseorang kepada kekafiran. Sehingga bisa dikatakan pemikiran filsafat dalam tradisi ahli hukum islam tidak tampak secara umum digemari.
Demikianlah selama beberapa ratus tahun umat islam ada dalam suasana polemis yang berkepanjangan. Puncak dari penolakan terhadap tradisi keilmuan filsafat, adalah ditandai dengan diterbitkannya sebuah kitab yang berjudul Tahafut al Falasifah, buah karya Hujjatul Islam :Imam Ghazaliy. Dasar-dasar pemikiran filsafat mulai diragukan kebenarannya, orang mulai diajak untuk menyangsikan atau ragu-ragu di dalam mencari kebenaran lewat filsafat dengan cara memperbandingkannya secara diametral dengan konsep-konsep keagamaan yang terdapat dalam al Qur’an dan al Hadis. Seolah-olah terdapat jurang yang dalam yang mampu memisahkan alur pemikiran filsafat yang spekulatif dengan konsep-konsep keagamaan yang mentradisi di kalangan ummat islam sebelumnya. Untunglah di kemudian hari tampil ulama, ahli fiqh, sekaligus filsuf yang berusaha mengkoreksi dan mengkritisi kesalahan yang dibuat oleh Imam Ghazaliy (dan ulama-ulama yang mengikutinya) sekaligus membersihkan segala tuduhan dan kesangsian yang dituduhkan terhadap pemikiran filsafat seperti selama ini. Ia adalah Muhammad Ibn Rusyd , seorang ulama besar yang amat berjasa dalam mengembalikan kepercayaan sebagian ilmuwan kepada filsafat dan berusaha mendamaikan kembali pertengkaran yang terjadi antara fuqaha di satu sisi dengan filsuf di sisi yang lain. Dengan berusaha memberikan tawaran metodologis yang rasional dan sebegitu jauh tidak keluar dari semangat nash qur’an dan sunnah Nabi. Ibn Rusyd dipandang telah berhasil menghentikan laju kematian “ruh” filsafat di dunia Islam.
Bab II
Pembahasan
2.1 Sejarah Ringkas Kehidupan Ibn Rusyd
Nama lengkapnya Abu al Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd di dunia Barat dan dalam literatur Latin abad pertengahan Ia dikenal dengan nama Averroes. Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H ( 1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam disiplin ilmu fiqh di Spanyol. Kakeknya pernah menjabat Qadhi Qudhat di Andalusia, disamping kedudukannya sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dalam mazhab Malikiy. Pada tahun kelahirannya daulah Murabithun berakhir dengan wafatnya kesultanan yang kelima yakni Ishaq (1146-1147) Sementara menginjak usia 4 tahun pemimpin daulah Muwahhidun , Muhammad Ibn Tumart (1078-1130) wafat. Suasana intelektual pada saat itu didominasi oleh para ahli fiqh yang bersikap sangat tidak simpatik terhadap ilmu-ilmmu rasional.
Ibn Rusyd belajar ilmu fiqh dari ayahnya, sehingga dalam usia yang masih sangat muda beliau telah hafal kitab al Muwatha’ karya Imam Malik. Sementara di bidang kedokteran beliau belajar kepada abu Ja’far Harun dan abu Marwan ibn Jarbun al Balansi. Logika dan filasafat –demikian pula dengan teologi- ia peroleh dari filsuf besar saat itu Ibn Thufail. Beliau juga mendalami sastra arab , matematika, fisika, dan astronomi. Ibn Rusyd dipandang sebagai filsuf yang paling menonjol pada periode perjkembangan filsafat islam saat mencapai pada puncak kejayaannya (sekitar tahun 700-1200) Letak keunggulannya adalah pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang lluas serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun 1200-1650 M.
Di puncak karirnya ibn Rusyd pernah menjabat sebagai Qadhi Qudhat di Cordova sebagaimana jabatan yang pernah disandang oleh kakeknya. Selanjutnya pada tahun 1182 beliau bertugas sebagai dokter di istana khlaifah al Muwahhidun, Maroko untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh ibn Thufail. Pada tahun 1195 karena chaos politik beliau ditangkap oleh sultan dan diasingkan ke suatu tempat di Lucena (al Lisanah) yang terletak 50 KM di arah tenggara Cordova. Semua karya-karya filsafatnya dibakar kecuali buku-buku kedokteran, astrionomi dan matematika. Atas desakan berbagai fihak beliau dibebaskan dan namanya direhabilitisir . namun tidak lama menghirup udara kebebasan beliau meninggal pada tanggal 10 desember 1198 M,
2.2 Pemikiran (Tawaran Metodologis/Epistemologis ) Filsafat Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaanNya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama, ketiga, ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mul;hid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam menenerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a). Lewat metode Khatabi (Retorika)
Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
b) Lewat metode Jadali (dialektika)
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik
c) Lewat metode Burhani (demonstratif)
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.
Ta’wil yang dilakukan dengan metode burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya adalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat al isra’ : 85 :
يسءلونك عن الروح قل الروح من امر ربى
Artinya :
“ Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh: “ roh itu termasuk urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWT sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini . al Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar burhani , ia merpakan metode ta’wil / qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna, . Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai : makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu llainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil , agar diketahui makan bathinyya (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai ( al Rasyikhuna fil ‘Ilm ) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
Di dalam buku ini pula sedikit dibahas kelemahan metodologis Imam Ghazaliy ketika beliau mengkafirkan filsuf-filsuf dalam 3 perbincangan filsafat yakni:
a. Diskursus keqadiman dan kehadis-an alam semesta
b. Pengetahuan juz’iyat dan kuliiyah Tuhan
c. Hari kebangkitan (Yaum al Ba’ats)
Persoalan pertama, tentang perdebatan alam itu baru atau qadim, dalam pandangan beliau perdebatan itu esensinya hanyalah persoalan istilah/terminologi belaka. Karna para penentang filsafat meyakini adanya 3 wujud pada realitas alam / benda tersebut. Adapun wujud yang pertama, adalah wujud yang adanya disebabkan oleh wujud diluar dirinya dan didahului oleh zaman, sehingga dapat dikatakan wujud jenis pertama ini barau ada/riel /eksis jika da penyebabwujud (pencipta/penggerak) Contoh :adalah benda-benda yang bisa ditangkap oleh obyek indrawi. Wujud kedua adalah wujud yang keberadannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini dispakati oleh mutakalimin sebagai wujud yang qadim. Disebut juga penyebab dan penggerak segala sesuatu yang ada. Wujud yang ketiga adalah wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun juga tidak didahului oleh zaman, akan tetpai keberadaannya disebabkan oleh sesuatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta beserta segala perangkatnya
Wujud ketiga inilah yang menurut imam ghazaliy bisa mmebuat seseorang menjadi kafir jika seseorang berangggapan bahwa ada wujud qadim selain Allah SWT. Ibn rusyd menjelasakan bahwa keqadiman wujud ketiga dengan qadimnya Tuhan jelas beda. Kewujud qadiman Tuhan tidak disebbakan oleh sebab apapun , karena Tuhan adalah penyebab itu sendiri. Sementara keqadiman wujud ketiga digerakkan dan disebbakan oleh penggerak pertama (Muharrikul Awwal) yakni Allah SWT. Disnilah letak perbedaannya, sehingga tidak perlu mengkafirkan filsuf yang mempercayai adanya wujud ketiga ini. Dengan berdalih berdasarkan Qur’an Surat al- Hud:7 :
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan singgasanaNya berada di atas air”
Ibn Rusyd beranggapan ada wujud qadim sebelum Allalh SWT menciptakan alam semesta , yakni ‘Arsy dan air.
Persoalan kedua, yakni tentang ilmu Tuhan, yang dalam pandangan filsuf Allah sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat) , Menurut ibn Rusyd al Ghazaliy kurang memahami maksud para filsuf tersebut. Padahal yang dimaksud oleh mereka dalah bahwa Tuhan menegtahui jua’iyyat dan seluruh pengetahuan Tuha berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang juz’iyyat adalah efek (ma’lul) dari obyek pemikiran, tercipta bersama dengan terciptanya obyek pengetahuan itu dan akan senantiasa berubah sejalan dengan perubahan obyek pengethauan tersebut. Adapun ilmu Allah SWT adalah sebab (‘illat) bagi obyek yang diketahui oleh-Nya sebelum materi pengetahuan mewujud di alam kenyataan, Allah SWt telah mengetahui dengan cara pengetahuan Allah SWT sendiri. Justru dengan pendapat filsuf yang demikian ini akan menyucikan sifat-sifat Tuhan dari kekurangan dan perubahan-perubahan yang itu semua hanya terjadi pada mahluq ciptaannya.
Persoalan ketiga, dalam buku fash al maqalnya ini , Ibn Rusyd tidak menjelasakn kesalahan al Ghazaliy ketika mengkafirkan para filsuf. Akan tetapi hanya mengkritik cara/pola pikir orang yang berbicara tentang persoalan-persoalan dilematis/problematik/ta’arudl tersebut, akan tetapi dalam pembuktian kebenaran tidak menggunakan metode ta’wil. Atau kesalahan terhdap orang awam karena tidak memiliki kapasitas ta’wil kemudian melakukan ta’wil makahal itu justru merupakan suatu bentuk kekafiran, karena bisa menjerumuskan dirinya dan orang lain. Seharusnya ia cukup dengan makna lahiriyah saja.
Kritik juga ditujukan terhadap pengguna ta’wil dimana ia digunakan tidak pad tempatnya, seperti ta’wil dengan pendekatan metode puitik (Syi’riyah) retorik (Khatabiyyah) atau dialektik (jadaliyah) yang semuanya tidak membantu memperjelas obyek pengetahuan yang diperdebatkan. Ibn Rusyd menyarankan agar penguasa muslim melarang/mencegah karya-karya al Ghazaliy yang bersifat sofistik, penuh ta’wil-ta’wil itu dipelajari kecuali oleh oleh orang-orang yang termasuk ahli ilmu.
Dalam pandangan Ibn Rusyd tujuan Syari’at diturunkan adalah untuk mengajarakan ilmu yag benar dan amal yang benar pula. Ilmu yang benar berarti pengetahuan akan pengenalan kepada Allah SWT yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Sedang amal yangbenar adalah menjalankan perbuatan-perbuatan yang akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua tindakan yang akan menimbulkan penderitaan ( al ‘lmu al ‘amali ).
Metode terbaik untuk memahami syariat adalah metode yang terdapat secara orisinil dalam kitab suci. Ada 3 alasan ibn rusyd berpendapat demikian yakni:
- bahwa secra faktual tidak ada dalil manapun yang lebih persuasif dan lebih mampu diterima semua orang selain argumentasi syari’at
- bahwa dalilsyari’at itu menyimpan karakteristik untuk bisa dikuasai sampai pada batas mana seseorang tidak memerlukan ta’wil di dalamnya, kalau memang dalil itu termasuk kelompok dalil yang dapat dita’wilkan, kecuali oleh ahli burhan
- bahwa argumentasi –argumentasi itu dalam dirinya sendiri mengandung sesuatu yang menggugah pencari kebenaran untuk melakukan ta’wil yang benar.
2.3 Karya-karyanya
Membahas karya-karya Ibnu Rusyd akan menarik sekali bila pemaparannya merujuk pada tulisan seorang pemikir pembaharu dari Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri. Al-Jabiri dalam tulisannya itu mengatakan banyak sekali karya-karya Ibnu Rusyd hampir di setiap bidang tokoh Andalusia ini memiliki karya-karya yang otoritatif sebagai rujukan. Dari bidang akidah hingga politik.
Di bidang akidah Ibnu Rusyd dikatakan oleh al-Jabiri memiliki tiga kitab penting. Al-Kasyf’u an Manahijil al-‘Adilah fi ‘Aqaid al-Millah, Fashlul al-Maqal fi ma Bainal-Hikmah wasy-Syariah minal-Ittishal (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat) dan Tahafutut-Tahafut. Dari kitab-kitab ini Ibnu Rusyd ingin menyatakan bahwa filsafat tidaklah sesat, seperti yang dituduhkan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah-nya. Selain itu Ibnu Rusyd juga menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan. Keduanya memiliki satu esensi yang satu yaitu kebenaran Tuhan topik tentang ini secara rinci terdapat dalam kitab Fashl al-Maqal-nya.
Di bidang fiqh Ibnu Rusyd pada dasarnya memiliki satu kitab yaitu Bidayatul Mujtahid wa-Nihayah al-Muqtashid ( kitab ilmu fiqh ) yang kemudian diintisarikan pada satu kitab yang berjudul adh-Dharury fi Ushul al-Fiqh. Dikatakan oleh al-Jabiri bahwa dua kitab ini benar-benar ditujukan untuk mengkritik para fuqaha setelah masa empat imam madzab. Ibnu Rusyd menilai bahwa kebanyakan ulama-ulama fiqih di zamannya hanya dapat mengikuti saja apa yang diajarkan oleh imam empat madzab itu.
Dengan struktur yang ada di dalamnya, Bidayatul Mujtahid ingin menyatakan harus ada beberapa koreksi yang harus dilakukan oleh para fuqaha terhadap pandangan-pandangan para fuqaha terdahulu. Kenapa ada perbedaan dalam fiqih imam Syafii dengan Hanafi misal. Tak hanya sebatas itu, dalam kitabnya itu Ibnu Rusyd juga menekankan bahwa perlu adanya sebuah ijtihad baru yang dapat dilakukan oleh para fuqaha pada zamannya itu. Ini dibuktikan dengan mengemukan pandangan-pandangannya sendiri dalam kitabnya itu setelah membahas pandangan-pandangan fiqih imam empat madzab.
Dalam bidang filsafat sayanganya oleh al-Jabiri tidak disebutkan bahwa Ibnu Rusyd mengarang sebuah kitab khusus untuk filsafat. Menurut hemat penulis, karya-karya Ibnu Rusyd dalam bidang ini ada pada komentar-komentarnya pada karya-karya Aristoteles. Perlu diingat bahwa, karena karya-karya itu berupa komentar-komentar maka, tidak mungkin karya-karya yang dikomentari adalah diterima begitu saja secara mentah-mentah. Banyak sekali bagian-bagian filsafat Aristo atau Yunani pada umumnya yang tidak lepas dari mitos-mitos kuno, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Agaknya Ibnu Rusyd dengan tiga kategori komentarnya telah melakukan penyaringan terhadap itu. Dan jika mau dimasukkan, Tahafut at-Tahafut pun dapat menjadi bagian dari karya-karya Ibnu Rusyd yang bercorak filsafat. Karyanya ini penulis kira tidak hanya melakukan pembelaan terhadap filsafat semata. Tentu ada argumen-argumen filosofis yang ada di situ untuk melawan argumen al-Ghazali yang juga masuk dalam kategori filsafat, metafisika.
Dalam bidang kedokteran Ibnu Rusyd memiliki sebuah kitab yang dibuat menjadi semacam ensiklopedia, al-Kulliyat fi ath-Thibb ( ilmu kedokteran ). Sebuah kitab yang berisi tujuh jilid buku dengan tema-tema yang berhubungan dengan anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia medika, kesehatan dan terapi umum. Sebuah karya yang dibuat dengan tujuan seperti yang dikatakan al-Jabiri untuk mensistemastisasi ilmu kedokteran di atas pondasi ilmu pengetahuan, terutama fisika. Kitab ini oleh orang-orang Kristen, di masa lalu dijadikan sebagai buku panduan, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, di berbagai universitas.
Dalam bidang gramatikal Ibnu Rusyd memiliki sebuah karya yang dikatakan oleh al-Jabiri melampaui Ibnu Madha dengan kitab ar-Radd ala an-Nuhah-nya. Kitab itu adalah adh-Dharury fi an-Nahw yang “berintikan kategorisasi kalimat pada kata tunggal (mufrad) dan kata plural (murakkab) bukan pada kata benda (ism), kata kerja (fiil), dan huruf sebagaimana berlaku dalam ilmu yang setelah era Sibawaih.”
Sedangkan dalam bidang politik kita disuguhi Ibnu Rusyd dengan kitab adh-Dharury fi as-Siyasah sebuah kitab hasil ringkasan Republic (Politea) Plato. Sebuah gagasan tentang Negara Kota atau Kallipolis (al-Madinah al-Fadhliyah). Sayangnya al-Jabiri tidak menerangkan secara lebih mendetail tentang karya Ibnu Rusyd ini, ia hanya mengatakan bahwa seperti halnya Plato, Ibnu Rusyd juga mengkonsepsikan sebuah negara kota dengan pemerintahan-pemerintahan pilihan sebuah kota penuh keadilan dan kemakmuran.
Risalah fi Ta’alluqi ‘illmillahi ‘an ‘adami Ya’alluqihi bil-juziyat
Tafsiru ma ba’dath-thabiat
Risalah fil wujudil Azali wal Wujudil Muaqqad
Risalah fil aqli wal Maquli
Naqdu kadhariat ibnu sina ‘anil Mumkin lidzatihi wal Mumkin lighairihi
2.4 Pembelaan Ibnu Rusyd pada Filsafat
Di atas sedikit disinggung bahwa dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd memiliki peran penting dalam melakukan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan yang dilakukan umat Islam sendiri paska fatwa haram al-Ghazali pada bidang pengetahuan itu. Dua kitab yang kitabnya itu mencoba melakukan penetrasi gencarnya serangan-serangan badai yang telah dicipta Hujatul Islam, al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Kedua kitab inilah yang menjadi pilar utama pemikiran Ibnu Rusyd untuk menyelamatkan filsafat. Meski upaya inipun baru nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini.
Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad paska kematiannya, pemikiran al-Ghazalilah yang berkibar, memunculkan kondisi stagnansi pada ajaran Islam, yang nampak cenderung menjauhi dunia pemikiran seperti filsafat dan begitu memunculkan ketertarikan pada kajian fiqh dan ushul begitu besar, khususnya di Sunni. Kejumudan melanda, peta pemikiran filsafat masih ada namun nampak redup, di belahan bumi Persia filsafat itu terus berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya mengalami ketidakberubahan.
Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu ia lakukan terhadap filsafat yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam Kesesatan para Filosof, Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia mengcounter tiga argumen utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filosof yang dianggapnya sesat. “Perdebatan” antara keduanya menjadi debat dua orang dari dua generasi yang berbeda dengan seolah mewakili perdebatan sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya. Perdebatan antara dua kubu tentang masalah akidah yang menimbulkan polemik berkepanjangan tentang siapa Tuhan, asal-usul dan seperti apa alam semesta berikutnya. Dasar rasional melawan teks wahyu.
Namun dalam kaitannya dengan al-Ghazali Dr. Mulyadi Kertanegara mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah dunia filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo Platonis saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan orang-orang muslim Neo Platonis seperti al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina (w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filosof Neo Platonis ini, sayangnya oleh kebanyakan umat Islam itu dipahami sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa al-Ghazalipun seorang filsuf.
Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki materi dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu Rusyd. Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant naration of causality principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-potensial yang mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud.
Antara subjek dan predikat menurut kaum peripatetik memiliki dua kemungkinan hubungan. Pertama, mumkin. Setiap hubungan akan selalu menyatakan mumkin. Misalnya; “Aku ada”, aku ada adalah sebuah kemungkinan, meskipun sekarang aku sudah aktual tetapi sebelum aku lahir atau setelah aku mati aku hanya “ada” sebagai sebuah kemungkinan. Mungkin ada, mungkin tidak. Selain itu, perubahan yang terjadi pada aku sudah menjadi indikasi bahwa aku adalah kemungkinan. Jadi aku akan selalu membutuhkan sesuatu yang tidak berubah untuk dapat eksis.Kedua, wajib. Adanya entitas dapat dikatakan wajib bila ia tidak dipengaruhi oleh apapun, tidak berubah-ubah, dan aktual. Dan tentu hanya Tuhanlah yang hanya dapat demikian. Demikianlah fondasi dasar teori peripatetik yang salah satu knight rider-nya adalah Ibnu Rusyd.
2.5 Ajaran filsafatnya
- Keabadian Alam
Apa yang dikatakan al-Ghazali mengenai keabadian alam yang didengungkan oleh para filsuf? Keabadian alam yang dikatakan para filsuf memiliki ketidakkoherenan. Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan mana yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa yang dibicarakan ini saat alam belum ada alam. Al-Ghazali terjebak dengan konsep ruang dan waktu yang meliputi alam. Ketika membahas tentang proses terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan waktu.
Kata Ibnu Rusyd: “Meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi tetapi karena Tuhan sebagai penyebab, sedangkan alam adalah akibat, maka Tuhan tetap yang dahulu ada (sebagai pencipta). Hal ini dapat di ibaratkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana yang lebih dahulu antara matahari dan sinarnya?”
Al-Ghazali sangat tidak relevan mengkafirkan para filsuf, hanya karena menyatakan alam itu abadi. Padahal pijakan nilai yang dipakai oleh filsuf dan Al-Ghazali sungguh berbeda. Jika para filsuf memancangkan konsep keabadian alam ini dalam kontek di luar ruang dan waktu. Al-Ghazali masih terjebak dalam konteks ruang dan waktu.
Kemudian Ibnu Rusyd pun melakukan kritik balik terhadap pemikiran al-Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika meciptakan alam. Menurut Ibnu Rusyd ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah kenapa jika kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam datangnya kemudian. Seharusnya sejak azalipun alam sudah ada. Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu yang lain, membuat Tuhan harus merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi aturan.Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam aktual. Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada sejak zaman dahulu
- Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara universal. Jika pengetahuan Tuhan bersifat partikular, maka apa-apa yang ada di dunia ini akan selalu menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat, keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya kasus manusia yang mati bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang partikular, implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan akan tahu bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah pengetahuan Tuhan, tetapi bagaimana cara manusia itu mati, hal itu diserahkan pada manusia sendiri.
Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa penglihatan Tuhan menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah pengenalan universal, karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri. Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar tentu bisa saja Tuhan membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan diri-Nya. Tentu tak mungkin Tuhan membunuh dirinya.
- Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak mungkin bisa abadi, setiap yang fisik akan selalu hancur), padahal menurut al-Qur’an, nanti manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak mungkin jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena tubuh menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat ini seringkali terasa menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal, kata al-Fârâbî, kepahitan dosa kita akan benar-benar dirasakan karena sudah tak ada yang menghalangi, yaitu tubuh. Begitu pula dengan pahala, pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah yang akan menyiksa kita, bukan Tuhan. Itulah gambaran al-Fârâbî tentang kehidupan akhirat nanti.Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut Ibnu Rusyd tidak konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga dan neraka itu bersifat fisik di satu buku, di buku lainnya ia menyatakan bahwa kehidupan akhirat bersifat ruhani.
Dari tiga sanggahanya ini Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali merajut benang-benang filsafat yang sempat dipotong-potong al-Ghazali. Ibnu Rusyd seolah berkata bahwa di dalam filsafat Islam ini kami juga menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat Ibnu Rusyd justeru berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di dunia Islam sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh fatwa haram al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Fatwa haram al-Ghazali benar-benar meresap di benak dan sanubari umat Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu berlarut-larut terjadi. Ketika upaya perlawanan dengan Tahafut at-Tahafut-nya dirasa masih kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam, upaya persuasifpun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada dasarnya kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan wahyu. Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu Rusyd dikatakan bahwa keduanya tidaklah bertentangan.
Ada kebenaran tunggal di dalamnya. Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar berkeinginan untuk mendamaikan dua episteme ini. Untuk memperkuat argumen ini Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan. Pertama, kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang dalam kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam menjalani rutinitas keberagamaannya hanya dengan bertaqlid atau mengikut. Kedua, adalah para teolog. Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd adalah golongan tepelajar namun tidak mau memahami premis-premis logika. Dan yang terakhir, adalah golongan orang-orang yang memahami agama secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya berpangkal pada ini. Allah SWT mencipta al-Qur’an sebegitu fleksibelnya hingga dapat menyesuaikan yang membaca dan yang memahaminya. Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan sebagai seorang yang menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd pada filsafat.
v Lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd
Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin mendalami harus memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan minat yang sama dalam mendalami filsafat. Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak yang cerdas.
Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada kerancuan-kerancuan.
Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak pada sebuah pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki seorang calon filsuf. Ketika mendapatkan satu kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa mengurangi atau melebikan.
Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang patut adalah mempertahankan pemikirannya itu dengan sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus mempertahankannya mati-matian.
Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat harus benar-benar meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.
Filsafat Ibnu Rusyd ada dua, yaitu filsafat Ibnu Rusyd seperti yang dipahami oleh orang Eropa pada abad pertengahan dan filsafat Ibnu Rusyd tentang akidah dan sikap keberagamaannya. Disamping itu, buah pemikiran Ibnu Rusyd. Sejak delapan abad lalu, Ibnu Rusyd sedah mengingatkan kita tentang pentingnya filsafat. Sebagai seorang filsuf, tabib, dan ulama, Ibnu Rusyd sebenarnya telah memberikan jalan kepada kita untuk menjadi sorang Muslim Progresif. Menurutnya, seorang muslim yang baik adalah yang bias merepresentasikan zaman, di saat dan dimana ia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak terbelakang. Karena itu tak heran jika pandangan-pandangan Ibnu Rusyd senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan kita, sebagaimana tercermin dalam beberapa hal berikut:
1) Pluralisme dalam ijtihad.
Ibnu Rusyd adalah seorang hakim agama (qadhy) di Sevilla (1169) dan Kepala Hakim Agama di Cordoba (1182). Dalam kapasitasnya sebagai pemilik otoritas dalam masalah keagamaan, Ibnu Rusyd tidak serta merta menggunakan otoritas tersebut sebagai tangan besi untuk menyimpulkan sebuah hukum secara hitam-putih. Dalam ranah hukum Islam (fiqh), ia seringkali menekankan pentingnya keragaman ijtihad. Ibnu Rusyd sebenarnya ingin memberikan pelajaran berharga, bahwa elemen terpenting dalam fikih ialah menguraikan dimensi moral etik di balik hukum dan memahami proses ijtihad. Artinya, setiap hukum yang akan difatwakan sejatinya dapat dipertimbangkan kemaslahatan umum.
2) Kebebasan dan tradisi kritik
Ibnu Rusyd hidup di masa kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir. Saat itu, filsafat dikubur hidup-hidup, terutama setelah difatwa sesat (kafir’) dan rancu (muthafit) oleh Imam al-Ghazali dalam Thahafut al- Falasifah. Karena itu, langkah Ibnu Rusyd kemudian adalah mengkritisi sejumlah kitab yang selama ini mengharamkan filsafat dengan menulis kitab bertajuk Tahafut at-Tahafut seraya mengeluarkan fatwa “pentingnya berpikir dan berfilsafat”, sebagaimana ditulis secara satir di kitab Fashi al- Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittishal. Menurutnya. Ibnu Rusyd menambahkan, persoalan kalam (teologi) semestinya tidak melulu didekati dengan pendekatan tekstual, melainkan juga dengan filsafat, yaitu melalui mekanisme takwil yang berlandaskan analogi demonstrative (al-qiyas al-burhany). Atas dasar itu, Ibnu Rusyd menolak pengkafiran terhadap kaum filsuf, karena filsafat dan pikir merupakan ajaran Islam yang otentik.
3) Dialog Antaragama
Ibnu Rusyd menghendaki agar filsafat dijadikan jembatan untuk menerima kebenaran dari pihak lain, bahkan yang berbeda sekalipun. Di kitab Fashl al Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittisal Ibnu Rusyd menulis, “jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama, kita mesti menerima dan menghormatinya”. Ibnu Rusyd memandang bahwa perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang untuk membangun jembatan dialog. .
4) Kontrol atas kebijakan politik
Hal penting yang mendarah daging dalam karakter Ibnu Rusyd adalah control terhadap kebijakan peguasa. Menurutnya, otoritarianisme berpotensi membunuh kepentingan kolektif. Karena itu, ia selalu berbeda
pendapat dengan khalifah, bahkan tak jarang memanggil sang khalifah dengan “wahai saudaraku”. Dan sikap seperti inilah yang menjadi satu dari beberapa sebab kenapa ibnu Rusyd mengalami inkuisi (mihnah fikriyah) dan diasingkan oleh khalifah Lucena, kepulauan Atlantik, 1195. Dari sini, catatan terpenting adalah perlunya control terhadap penguasa
Ibnu Rusyd mempunyai harapan agar politik tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan bukanlah fenomena asing pada waktu itu. System politik umat Islam yang dibangun di atas system klan telah memunculkan perebutan kekuasaan yang amat dahsyat. Sementara itu, umat Islam tidak mempunyai filsafat politik yang baik untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Ketika para ulama terseret untuk hanya focus belajar ilmu-ilmu agama, maka ilmu-ilmu social yang berkaitan dengan ilmu tata masyarakat cenderung diabaikan.
Filsafat Ibnu Rusyd
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya- karya Aristoteles dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur- unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles.
Atas saran gurunya, Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H. Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema- tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
1) Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Diantaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan- kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran
yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran
yang ditemukan kelompok lain.
Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis. Agama dan filsafat adalah sejalan dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Dengan demikian, berfilsafat secara benar dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar pula, akan didapat pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
2. Tingkat Kemampuan manusia
Dalam hal ini Ibnu Rusyd membuat perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Mereka adalah kelompok yang menggunakan metode retorik (khathabi), metode dialektik (jadali) dan metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi. Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian
kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbedabeda dan beragam. Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al- Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif. Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, pengajaran yang baik dan ajak bicaralah (debat) mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Ia juga lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (al-Nahl: 125)
3. Kebahagiaan
Mengenai konsep kebahagiaan, Ibnu Rusyd sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas- realitas. Ibnu Rusyd menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang- orang tasawuf merupakan sarana untuk menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Dengan demikian ia tidak bisa menerima anggapan kaum sufi bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.
Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, ia sudah membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan- pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka kesiapan ini
berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam ruh.
4. Akal dan Jiwa Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani . Kedua gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal, pemahamannnya dilakukan dengan penalaran atau pikiran. Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini
dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal
BAB III
KESIMPULAN
Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai “Kadi” (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Pemikiran Ibnu Rusyd :
1. Pluralisme dalam ijtihad.
2. Kebebasan dan tradisi kritik
3. Dialog Antar agama
4. Kontrol atas Kebijakan Politik
Adapun filsafat Ibnu Rusyd adalah :
1. Agama dan Filsafat
2. Tingkat Kemampuan Manusia
3. Kebahagiaan
4. Akal dan Jiwa manusia
Daftar Pustaka
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004
Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory, terj, Haris Munandar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000
Mustofah A.Filsafat Islam.Bandung: CV. Pustaka Setia.2007
Philip, K Hitti, Hostory of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2005
Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat, Jakarta: P3M, 2007
Tinggalkan komentar